Selasa, 21 Desember 2010

I yearn my mother cuddle

Cuaca yang aneh. Dibilang panas, tapi aku merasa kedinginan. Dibilang dingin, tapi aku nggak mau makai selimut. Hmmm, ternyata suhu badanku yag aneh, panas dingin nggak menentu. Ku lirik jam dinding yang setia berputar menemani kesepianku sudah hampir membentuk garis vertikal. Entah kenapa selubung mata ini seperti tertahan oleh batang korek api yang menjadi tiang setia penopang kelopak mataku. Pikiran dan emosi berbaur dalam satu ruang hampa tanpa celah. Mencoba mencari secercah cahaya kedamaian dalam jiwa, merindukan sosok jelita yang hiper aktif dalam menaklukkan waktu. Saat ini, betapa besarnya keinginanku untuk menemui beliau, tapi apa boleh dikata, itu cuma angan-angan orang gurun pasir yang mencari sumber mata air, sungguh tidak mungkin karena jarak yang jauh. Teringat kegigihan ibuku saat mencuci pakaian-pakaian kotorku, bercucuran keringat, jari-jari yang membengkak, telapak tangan yang dulu lembut sekarang bagaikan kulit pohon yang terkelupas, saat genggeman tangan itu memegang dan memberi pita-pita indah di rambut keritingku, menaburkan bedak yang tak beraturan di wajah mungilku, sembari berkata “Nah, bungas kalo, rambut rapi, muhanya putih, harum, kaya itu nak ae mun ke sekolah tuh, mun pian kd rapi,kena di rapot pian kerapiannya C”. sebelum mencium beliau dan berpamitan untuk berangkat sekolah, tangan mungil ini refleks menengadah untuk meminta uang jajan, bergagas beliau mencarikan dari satu wadah ke wadah lainnya untuk mengumpulkan recehan uang. Selama 11 tahun momen seperti itu terulang-ulang. Entah berapa banyak tenaga yang beliau ikhlaskan demi memanjakanku? Entah berapa jumlah uang yang beliau keluarkan demi memenuhi kebutuhanku? Entah kasih sayang seperti apa yang telah beliau berikan padaku? Tak ada yang tau…
Semejak SMP hingga aku kuliah sekarang, rasa ketergantugan ini masih jelas terasa. Mencoba untuk merubah perlahan, memperjuangkan keinginan beliau, membuat beliau meneteskan air mata haru saat melihatku berhasil. Ibu adalah pahlawan pemenang dari para pahlawan perang. Sosok yang kuat dan tangguh dalam menguatkan tekad dan cita-cita anaknya, pemberi motivasi terdepan dalam mengacu semangat buah hatinya. Beliau rela menangis hanya untuk sebuah senyum dari anaknya, rela berjuang mati-matian demi seorang bayi yang terlair dari rahimnya. Hiks…hiks….tak tahan lagi, air mataku tak terbendung. Bahkan aku lupa kapan terakhir aku memeluknya, kapan terakhir aku menciumnya? Ibu, lihatlah anakmu di sini, sedang kedinginan karena tidak ibu peluk, sedang kepanasan karena tidak ibu kipasin, dan tidak bisa tidur karena tidak mendengar nyanyian tidur dari celotehan mulut cerewetmu. Hari ini adalah hari kemuliaanmu, aku ingin seluruh dunia tahu isi hatiku, bahwa aku sangat mencintaimu sampai kapanpun, dan untuk selamanya.

Moment-moment yang membuatku menangis

(Banjarbaru. Rabu, 10 november 2010. Pukul 01:30 wita)

“Kriiiiing………kriiiiiiiing…………….”huuuh, deringannya menghentikan petualang mimpiku. Mataku terbuka peerlahan, tangan kiriku menarik selimut yang tergeletak di ujung kaki, tangan kanakku menuju kea rah deringan telpon genggam butut yang dari tadi berdering selalu. Saat itu pukul 01:30 WITA.
“halo…..” suaraku rada-rada serak.
“Assalamu’alaikum” sapa dia waktu bicara di telpon
“Wa’alaikumsalam” suara ini tak asing lagi bagiku
“Belum tidur?”
“Tadi seh sebenarnya udah, ada apa nelpon malam-malam?”
“Nggak papa, aku kangen aja sama kamu, maaf ya sebelumnya aku udah ganggu tidur kamu?”
“Oooo, santai az, nggak ganggu kok”. Walaupun sebenarnya aku ngerasa terganggu, ocehku dalam hati.
Banyak sekali yang kami bicarakan saling bertanya kegiatan masing-masing, bercanda, dan saling berbagi pengalaman. Dia bernama Iqbal, mantan pacarku waktu aku kelas 1 di SMA. Aku pacaran sama dia kurang lebih hampir satu tahun. Lumayan lama, tapi kami menjalani pacaran 7 bulan jarak jauh waktu aku masih SMP, dan 5 bulan berdekatan waktu aku SMA. Aku SMA di kota, tinggal bersama nenek, dan rumah nenekku satu komplek dengan rumah Iqbal. Saat itu aku enangis mendengar cerita hidupnya yang sungguh malang. Di saat orang-orang seumuran aku tengah asik menikmati bangku kuliah, bercanda ria bersama teman-teman, belajar dengan dukungan orang tua dan keluarga, dengan fasilitas yang mewah dan lengkap, tapi dia tidak. Kehidupannya 180 derajat berbeda denganku, dia seorang broken home. Mulai sinilah terjawab semua pertanyaan yang sempat singgah di benakku, tentang sebuah seruan yang dia update di ikon facebooknya. “aku tidak pernah merasakan lagi bagaimana rasanya menjadi bagian dari keluarga”. Coba kamu bayangkan, apa jadinya seorang remaja yang seharusnya haus akan pendidikan, bersaing di berbagai perguruan tinggi, untuk meraih cita-cita setinggi langit, dan berada di antara kehangatan keluarga kini harus hidup sendiri, membanting tulang, bermandikan keringat setiap hari, demi mencari bekal buat bisa bertahan hidup. Iqbal punya keluarga, dia punya dua saudara, kakaknya cowok bernama Nasrul, dan adiknya cewek bernama Puja. Aku nggak begitu kenal betul dengan dia, tapi aku pernah sedikit tau tentang masa lalunya, tentang kebiasaannya, dan hobbynya. Sejak SMP pernah makai narkoba, dia mendapatkan obat-obatan terlarang itu dari teman-temannya. Waktu aku bertanya kenapa dia bisa makai barang haram tersebut, diapun tak tau jawabannya, kata dia biar nggak stress. Aku juga bingung, kok bisa ya anak SMP stress?
Sekarang kebingungan itu mulai terpecahkan. Iqbal mendapatkan perlakuan yang tak adil oleh kedua orang tuanya, orang tuanya lebih mengutamakan saudara-saudaranya, dari awal mau masuk SMA, kakaknya sekolah di SMA yang ternama dan mahal, sedangkan dia di SMK yang sangat biasa dan murah. Pas mau daftar kuliah, kakaknya dikuliahin di fakultas yang cukup bagus, dan dia tidak dikuliahin dengan alasan biaya. Sekarang iqbal di suruh tinggal di Desa kelahirannya, sementara itu semua keluarganya tinggal di Kota. Dia hidup sendiri, dengan biaya sendiri, bekerja sebagai seorang penjaga warnet. Gajinya tak seberapa, yang penting cukup buat biaya hidup dan beli rokok katanya, karena dia seorang perokok.
Saat berbincang-bincang di telpon, aku nggak sadar kalau aku nangis. Bantal satu-satunya di kamar kost basah karena air mataku. Aku kasihan dengan nasibnya sekarang. Ingin rasanya aku membantu, tapi nggak punya kekuatan dan materi, aku hanya bisa menghibur dia, aku nasehati dia agar bisa lebih baik, karena aku tau senarnya dia anak yang baik, dia Cuma butuh kasih saying orang tua, dan keluarga yang bias membuatnya kuat. Usai bertelponan dengannya aku mulai mencoba memejamkan mata lagi, sambil berdoa, dan berharap hari esok lebih baik dari hari ini. Amien…

(Banjarbaru. Jum’at 12 november 2010 pukul 02:00 wita)
Tidur, tidur, dan tidur…….. Aaaaargh……! Sial, mata ini tak bisa terpejam. Berkali-kali ku coba, tpi nihil, tak ada hasil. Telpon nggak? Telpon nggak? OK, keyakinan ini sudah bulat, aku harus lakukan ini. Melakukan kebohongan terbesar dalam hidupku, melawan kenyataan dan tetap berenang di lautan tanpa tepi, menggapai sesuatu yang tak mungkin, demi memuaskan sebuah ego. Sudah tiga kali ku coba menelpon dia, tak ada jawaban darinya. Aku tidak menyerah, ku coba lagi dan akhirnya diangkat.
“halo, Assalamu’alaikum”
“halo” hanya kata itu yang trucap dari mulutnya. Kini diam dan haya diam, aku bingung harus memulai dari mana, dan bahkan mulai ada keraguan di hatiku, apa aku bias melakukan ini?
“kedengeran nggak suaraku?” dia hanya diam, dan kemudian tut….tut….tuuut…. dia memutus telponnya.
Setelah terdiam beberapa saat, ku terima sebuah sms darinya.
“Ada apa nelpon tengah malam?
Aku terganggu tau nggak?
Aku baru saja tertidur”.
Pengirim: +6285651029xxx
Mungkin ini cara terbaik agar aku bisa melanjutkan kebohonganku.
“nggak papa, aku Cuma mau ngomong untuk yang terakhir kali,
besok ambil hp, makasih udah dipenjemin,
semoga kamu bahagia dengan yang lain,
aku akan coba untuk melupakanmu”.
terkirim: +6285651029xxx
Dikeheningan malam itu, kesedihanku tak dapat terbendung lagi, air mata bercucuran bagaikan hujan di awal musim. Sungguh mengerikan, hancurnya perasaanku tak dapat ku gambarkan, aku berbohong pada diriku sendiri tentang perasaan ini. Rasa cinta ini begitu murni dan utuh hanya untuknya, dan ketulusan hati ini dalam menyayanginya tak dapat ku pungkiri.
Tidak lama setelah aku mengirimkan pesan singkat itu, ku terima banyak balasan darinya, inti dari semua pesan-pesannya adalah dia meminta maaf, dan dia tidak mau menerima keputusanku, karena dia masih mencintaiku. Rasa egoku yang tinggi tak menghiraukan itu semua, aku tetap pada pendirianku. Aku mulai mencoba memejamkan mata lagi, sambil berdoa, dan berharap hari esok lebih baik dari hari ini. Amien…

Rabu, 17 Februari 2010

cerpen

Pertemuan Terakhirku

Hangat sinar mentari yang menyelimuti pagi ini menggugah semangat untuk beraktivitas. Burung kecil dengan warna kuning di dadanya yang membuat mata enggan mengalihkan pandangan karena rupa cantiknya itu berkicau melentunkan nyanyian yang merdu, mereka sibuk dengan pasangannya melompat dari satu ranting ke ranting lainnya pada pohon mangga yang berdiri kokoh di halaman belakang rumahku.

“Duuh, bahagianya jika aku jadi salah satu anak ayam yang tengah asyik menikmati butiran-butiran nasi bersama induk dan saudara-saudaranya.” Gumamku dalam hati sambil memberi makan ayam-ayam di bawah pohon mangga yang rindang dengan daun-daun hijau merekah dan menghalangi sinar hangat yang ingin menjilati kulitku.

Matahari semakin meninggi tersenyum merekah pada dunia. Tiba-tiba, suara jeritan anak ayam membangunkan aku dari lamunanku.

“Ouuh, sungguh kasihan…” Aku tidak tega melihatnya menjerit kesakitan tidak berdaya, kakinya terjepit pecahan batu bata. Ku sentuh kaki mungilnya, ku angkat batu bata itu perlahan. Dubraaaak….. “Aaaaargh……….!!!” Tusukan yang cepat, tajam, berkali-kali, semakin cepat, rasanya sama seperti ditusuk-tusuk paku. “hiks….hiks…apa salahku?” dengan kesal dan suara lantang, ku terlihat seperti orang bodoh yang mengoceh memeki-maki induk ayam yang menerjang kepalaku, diperlakukannya rambutku seperti tumpukan jerami yang dihamburi butiran-butiran padi. Wajahku memerah, keningku mengkerut, hidung kembang kempis karena menahan emosi yang menggejolak. Tapi ku coba untuk tenang, sambil mencari kesimpulan dari kejadian ini, aku berpikir. Ternyata induk ayam itu marah karena mengira aku akan menyakiti anaknya. “Ya Allah, begitu besar cintanya kepada anaknya, dia tidak rela ada manusia yang menyentuh buah hatinya.” Hatiku rasa terharu, butiran-butiran air berjatuhan di pipiku. Setiap ku ingat bunda, air mataku tidak dapat dibendung.

“Maria……..Maria……” Suara yang lembut dan merdu terdengar dari kamar tempat seorang malaikat yang terbaring lemas tidak berdaya. “Iya bunda, ada apa?” kucoba tersenyum meski hatiku menangis. “bunda haus sayang.” Kalimat perintah yang penuh dengan teburan mutiara kasih sayang itu terlantun dari bibir pucatnya. Aku duduk di samping kanan, ku angkat pundak bunda, ku sandarkan di pundakku. Ku ambil gelas air putih yang ada di meja yang tidak jauh dari tempat bunda terbaring. “Terima kasih sayang.” Senyum tulusnya terpancar dan membuat aura cantiknya abadi meski termakan usia. Ku lihat mata bunda berkaca-kaca, ku hanya membalas dengan kedipan mata dan senyuman.

Aku ke dapur menyiapkan sarapan untuk bunda. “Taraaaa……saatnya makan….makan yang banyak ya bunda, biar cepat sehat.” ku bawakan nasi putih dengan telur dadar dan tumisan sayuran, ini sudah menjadi rutinitasku. Ku suapi bunda, kami saling bercanda, bunda juga terlihat bahagia, kami saling suap-menyuapi, aku sering makan sepiring berdua dengan bunda. Ini merupkan hal yang membuat batin kami berdua semakin erat dan saling menyayangi. Sejak lulus SMA aku mengabdikan diriku untuk menjaga bunda yang sudah hampir satu tahun ini sakit. Beliau lumpuh, kedua kakinya tidak bisa berfungsi lagi. Aku anak tunggal, ayahku bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga. Ayah juga sangat sibuk bekerja dari pagi hingga sore, kadang lembur sanpai malam.

Setelah makan, bunda selalu memberi nasehat-nasehat, serta mengajariku banyak hal yang belum aku ketahui. Bunda duduk bersandar bantal di ranjang. Dengan manja aku memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepala di dadanya.

“Anakku, kelak kamu akan menjadi seorang ibu, bunda berharap kamu bisa merawat dan mendidik anak-anakmu. Saat seorang anak menjalani usia balita, anak akan cenderung bersifat egois. Jadi, jangan kamu ucapkan kata perintah bila ingin menyuruh dia melakukan seseuatu, karena bunda bisa pastikan dia akan menolak. Rayulah dia dengan mengajak, anak kecil sanat suka diajak. Begitu juga saat akan melarang dia, ucapkan kata-kata ajakan, bukan kata larangan.” “Iya bunda, Maria akan selalu ingat pesan-pesan bunda, I love Mom.” “Love you too baby.” Dua mata bertatapan. Saling mengirim keteduhan, keindahan, harapan, dan kehangatan. Kecupan hangat bunda mengenai di tengah-tengah kedua keningku. Suasana penuh cinta.

Saat genggaman tangan bunda terasa renggang dan aku menggenggam erat tangannya. Dingin. Detak jantungku seperti suara kaki kuda yang bertempur di medan perang, aliran darahku tersumbat tumpukan batu bata yang tersusun rapat sehingga darahku tidak dapat mengalir, goncangan jiwaku begitu dahsyat, hembusan hangat nafasnya tidak terasa lagi, denyut nadinya tenang tidak berdenyut lagi. Dunia terasa kiamat, aku seperti mayat hidup tanpa jiwa, air mataku berjatuhan bagaikan hujan di akhir musim kemarau yang membasahi tanah kering dan tandus, tanaman-tanaman bernyanyi riang seakan tidak rela hujan berhenti. Acara pemakaman sudah selesai, dan itu merupakan pertemuan terakhirku dengan bunda. Kedewasaan yang membuatku selalu kuat, tabah, serta ikhlas menerima semua ini.