Rabu, 17 Februari 2010

cerpen

Pertemuan Terakhirku

Hangat sinar mentari yang menyelimuti pagi ini menggugah semangat untuk beraktivitas. Burung kecil dengan warna kuning di dadanya yang membuat mata enggan mengalihkan pandangan karena rupa cantiknya itu berkicau melentunkan nyanyian yang merdu, mereka sibuk dengan pasangannya melompat dari satu ranting ke ranting lainnya pada pohon mangga yang berdiri kokoh di halaman belakang rumahku.

“Duuh, bahagianya jika aku jadi salah satu anak ayam yang tengah asyik menikmati butiran-butiran nasi bersama induk dan saudara-saudaranya.” Gumamku dalam hati sambil memberi makan ayam-ayam di bawah pohon mangga yang rindang dengan daun-daun hijau merekah dan menghalangi sinar hangat yang ingin menjilati kulitku.

Matahari semakin meninggi tersenyum merekah pada dunia. Tiba-tiba, suara jeritan anak ayam membangunkan aku dari lamunanku.

“Ouuh, sungguh kasihan…” Aku tidak tega melihatnya menjerit kesakitan tidak berdaya, kakinya terjepit pecahan batu bata. Ku sentuh kaki mungilnya, ku angkat batu bata itu perlahan. Dubraaaak….. “Aaaaargh……….!!!” Tusukan yang cepat, tajam, berkali-kali, semakin cepat, rasanya sama seperti ditusuk-tusuk paku. “hiks….hiks…apa salahku?” dengan kesal dan suara lantang, ku terlihat seperti orang bodoh yang mengoceh memeki-maki induk ayam yang menerjang kepalaku, diperlakukannya rambutku seperti tumpukan jerami yang dihamburi butiran-butiran padi. Wajahku memerah, keningku mengkerut, hidung kembang kempis karena menahan emosi yang menggejolak. Tapi ku coba untuk tenang, sambil mencari kesimpulan dari kejadian ini, aku berpikir. Ternyata induk ayam itu marah karena mengira aku akan menyakiti anaknya. “Ya Allah, begitu besar cintanya kepada anaknya, dia tidak rela ada manusia yang menyentuh buah hatinya.” Hatiku rasa terharu, butiran-butiran air berjatuhan di pipiku. Setiap ku ingat bunda, air mataku tidak dapat dibendung.

“Maria……..Maria……” Suara yang lembut dan merdu terdengar dari kamar tempat seorang malaikat yang terbaring lemas tidak berdaya. “Iya bunda, ada apa?” kucoba tersenyum meski hatiku menangis. “bunda haus sayang.” Kalimat perintah yang penuh dengan teburan mutiara kasih sayang itu terlantun dari bibir pucatnya. Aku duduk di samping kanan, ku angkat pundak bunda, ku sandarkan di pundakku. Ku ambil gelas air putih yang ada di meja yang tidak jauh dari tempat bunda terbaring. “Terima kasih sayang.” Senyum tulusnya terpancar dan membuat aura cantiknya abadi meski termakan usia. Ku lihat mata bunda berkaca-kaca, ku hanya membalas dengan kedipan mata dan senyuman.

Aku ke dapur menyiapkan sarapan untuk bunda. “Taraaaa……saatnya makan….makan yang banyak ya bunda, biar cepat sehat.” ku bawakan nasi putih dengan telur dadar dan tumisan sayuran, ini sudah menjadi rutinitasku. Ku suapi bunda, kami saling bercanda, bunda juga terlihat bahagia, kami saling suap-menyuapi, aku sering makan sepiring berdua dengan bunda. Ini merupkan hal yang membuat batin kami berdua semakin erat dan saling menyayangi. Sejak lulus SMA aku mengabdikan diriku untuk menjaga bunda yang sudah hampir satu tahun ini sakit. Beliau lumpuh, kedua kakinya tidak bisa berfungsi lagi. Aku anak tunggal, ayahku bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup kami sekeluarga. Ayah juga sangat sibuk bekerja dari pagi hingga sore, kadang lembur sanpai malam.

Setelah makan, bunda selalu memberi nasehat-nasehat, serta mengajariku banyak hal yang belum aku ketahui. Bunda duduk bersandar bantal di ranjang. Dengan manja aku memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepala di dadanya.

“Anakku, kelak kamu akan menjadi seorang ibu, bunda berharap kamu bisa merawat dan mendidik anak-anakmu. Saat seorang anak menjalani usia balita, anak akan cenderung bersifat egois. Jadi, jangan kamu ucapkan kata perintah bila ingin menyuruh dia melakukan seseuatu, karena bunda bisa pastikan dia akan menolak. Rayulah dia dengan mengajak, anak kecil sanat suka diajak. Begitu juga saat akan melarang dia, ucapkan kata-kata ajakan, bukan kata larangan.” “Iya bunda, Maria akan selalu ingat pesan-pesan bunda, I love Mom.” “Love you too baby.” Dua mata bertatapan. Saling mengirim keteduhan, keindahan, harapan, dan kehangatan. Kecupan hangat bunda mengenai di tengah-tengah kedua keningku. Suasana penuh cinta.

Saat genggaman tangan bunda terasa renggang dan aku menggenggam erat tangannya. Dingin. Detak jantungku seperti suara kaki kuda yang bertempur di medan perang, aliran darahku tersumbat tumpukan batu bata yang tersusun rapat sehingga darahku tidak dapat mengalir, goncangan jiwaku begitu dahsyat, hembusan hangat nafasnya tidak terasa lagi, denyut nadinya tenang tidak berdenyut lagi. Dunia terasa kiamat, aku seperti mayat hidup tanpa jiwa, air mataku berjatuhan bagaikan hujan di akhir musim kemarau yang membasahi tanah kering dan tandus, tanaman-tanaman bernyanyi riang seakan tidak rela hujan berhenti. Acara pemakaman sudah selesai, dan itu merupakan pertemuan terakhirku dengan bunda. Kedewasaan yang membuatku selalu kuat, tabah, serta ikhlas menerima semua ini.